Hustle

Someone said, better late than nothing.

But someone also said, better be fast than left behind.

Menurut Theressa, tidak ada yang lebih baik dari keduanya. Terlambat itu bukan pilihan yang ia sukai, tapi mengambil keputusan dengan terburu-buru hanya karena tidak mau tertinggal juga bukan pilihan ia rasa benar. Kalau kata orang lagi, people just scared to be nothing. Tapi bagi Theressa, memang apa arti dari ‘nothing‘-nya manusia? siapa yang membuat standart ‘nothing’ itu? betapa hebatnya dia sampai semua orang merasa perlu untuk menghindari standart itu.

Bagi orang, menjadi nothing berarti you ain’t achieve anything in yourlife. Tapi apa benar, seseorang bisa tidak mencapai apapun dalam kehidupannya? padahal menjaga diri dari perilaku tidak baik juga bisa dikatakan pencapaian.

Tapi kata ‘nothing‘ dengan standart achievement yang tiada habisnya itu memang sudah jadi sifat murni manusia. Theressa pun begitu, meski dia tidak pernah memakai standart orang lain, tapi terkadang standartnya terlalu ketinggian dan membuatnya merasa harus menerapkan hustle culture dalam hidupnya. Memang terkadang ia lelah pada dirinya sendiri yang terlalu memaksakan diri, tapi ia juga tidak bisa tidak memaksa dirinya untuk mencapai apa yang ia inginkan.

Sebetulnya standart pencapaian Theressa itu simple, namun ketinggian di masa penuh ketidakpastian ini. Theressa hanya ingin ia dan orang-orang yang ia anggap penting are secured. thats it.

Ibunya selalu mengingatkan, “Berencana itu tidak apa-apa, tapi membiarkan hidup mengalir seperti air itu juga penting.”

Sungguh, Theressa juga inginnya begitu. Andai saja ibunya bisa mentransfer energi itu padanya, ia pasti akan sangat bahagia. Tapi Theressa tidak tahu bagaimana caranya membiarkan hidup mengalir seperti air? Theressa ingin tahu bagaimana…

Everything is under control.

Theressa waktu itu duduk di side chair yang berada di tengah meja. Tadi pagi adalah hari pertamanya melakukan kerja relawan di salah satu markas militer, tugasnya adalah untuk mencari tahu apa yang menjadi penghambat terkumpulnya data Negara atas suatu wabah yang sedang melanda. Pagi tadi berjalan dengan cukup baik, dan pasti akan lebih baik lagi kalau tidak ada Angel di sana. Maka dari itu, hari ini ia datang ke tempat berkumpulnya rekan-rekan untuk memberikan pendapat bahwa ia tidak bisa bekerja dengan Angel dan menyampaikan pula dimana penempatan Angel yang paling tepat.

Kaki Theressa terlipat, menunggu rekan-rekannya berkumpul, termasuk si Jo. Jo adalah coordinator-nya (yang menurutnya tidak bisa bekerja secara efektif dan kurang tegas). 15 menit ia di sana, sempat menghubungi Aaron untuk menanyakan kesediaannya bertukar posisi dengan Angel. Aaron hari itu ditempatkan di bagian Utara, yang mana menurut Theressa kurang efektif mengingat rumah Aaron berada di daerah Barat. Sementara Angel yang tinggal di daerah Utara malah ditempatkan di daerah Timur bersamanya.

Namun sayangnya, balasan dari Aaron hanya ‘um, nanti kita lihat dulu.’ Yang mana itu tidak memuaskan Theressa sama sekali. Sehingga waktu itu Theressa bilang ‘Memangnya kau ada dimana? Tidak bisakah kau ke sini? Biar nanti cepat selesai.’

Aaron menjawab ‘tapi sepertinya aku akan pulang cukup malam.’ Dan Theressa mendengar itu sebagai alasan. Maka dengan nada yang tidak bisa dinegosiasikan lagi, Theressa berkata ‘aku tunggu.’

15 menit ia di sana, Jo datang. Menanyakan apa yang ingin Theressa sampaikan. Namun saat itu Theressa bahkan cukup lelah untuk bicara, jadi ia bilang bahwa ia akan bicara setelah Aaron datang. Ia tidak mau mengulangi apa yang ia katakan.

Dua puluh menit kemudian Aaron datang. Theressa agak kaget melihatnya. Mengingat tadi dengan jelas Aaron mengatakan ‘akan pulang cukup malam.’

“Urusanmu di sana sudah selesai?” menjadi pertanyaan pertama Theressa saat Aaron duduk di sisi tenggaranya. Aaron tidak datang sendirian, ia datang bersama Erica.

“Sebenarnya belum selesai, tapi it’s okay, daripada kau menunggu lama.” Theressa hanya mengangguk menanggapi Aaron, baguslah, pikirnya.

“Oke, berhubung Aaron sudah di sini, ada yang mau aku katakan. Ini soal pekerjaan hari ini. Menurutku akan lebih efektif jika Aaron di pindah ke markas barat, sementara Angel ke markas Utara, dan Lita ke markas Timur. Aku punya beberapa pertimbangan soal itu, pertama, jika semua orang dipindah sesuai dengan tempat tinggalnya, maka observasi akan lebih efektif dan efisien karena mereka pasti lebih paham daerahnya masing-masing. Kedua, orang-orang di markas Timur tidak suka dengan Angel, sepertinya akan menyusahkan kalau Angel ditugaskan ke Timur. Dan Ketiga, aku sudah meminta persetujuan Angel dan Lita, mereka oke. Jadi kini tinggal keputusan Aaron. Bagaimana menurutmu Jo?”

Jo mengangguk mantap, “Kau benar, memang harusnya seperti itu. Kalau begitu Aaron, kau bisa pindah ‘kan ke markas Barat?”

What?! Kenapa bisa begitu? Harusnya dari kemarin kesepakatan ini ada!” Itu suara menyebalkan Erica. Orang ini selalu saja ikut campur, dari awal Theressa tidak suka dengannya.

“Ya, tapi salah siapa kemarin yang memutuskan keputusan sendiri tanpa piker panjang dan bahkan tidak ada diskusi sama sekali?” tanyaku padanya, membuatnya diam dengan ekspresi menahan kesal. Kemudian Theressa sempat melirik sebentar ke arah Jo yang tampak gugup. Bukan tanpa alasan, tapi karena memang kemarin keputusan itu dibuat oleh Jo dan Erica tanpa sendiri dengan pertimbangan yang menurut Theressa pertimbangan tahi kucing. Iya, tahi kucing, karena smells so bad, kelihatan sekali pertimbangannya dipersonalisasi seperti ini dekat dengan ini, dibarengin aja. itu berteman sama itu, dibarengin aja. tahi kucing.

Theressa kembali menatap Aaron yang tampak tidak nyaman. “Bagaimana Aaron? Apa kau bersedia dipindah?” tanyanya lagi.

“Um… aku terserah kok mau ditempatkan di manapun. Ta—tapi kan hari ini aku sudah terlanjur masuk dan berkenalan dengan orang-orang di Utara.”

“Ya, maka dari itu aku meminta kalian berkumpul malam ini. Mumpung masih satu hari, akan lebih buruk kalau kita berpindah markas di hari ketiga.”

Aaron diam lagi. “Tidak bisa begini lah, Theressa!” ugh, itu Erica lagi. Tapi kali ini Theressa terlalu malas untuk menoleh, jadi ia hanya setia menatap Aaron, menunggu jawabannya.

“Kemarin kesepakatannya sudah seperti itu, lalu sekarang Aaron harus pindah? Kalau begini ‘kan Aaron jadinya seperti dipermainkan!”

Hah?!

Theressa sontak tersenyum sambil menoleh ke arah Erica. “Dipermainkan? Kalau aku ingin mempermainkan maka diskusi ini tidak akan terjadi.” Theressa menatap Aaron kemudian, “Is that very hard to you to answer that?! Jawabannya cuma ya atau tidak. Kalau ya, that’s good. Kalau tidak, tinggal kita cari lagi solusi lain.”

“Apa itu tampak seperti mempermainkan?!” suara Theressa terdengar penuh penekanan, matanya nyalang menatap Erica yang sontak terdiam. Theressa kembali tertawa pendek, dan kemudian baru sadar bahwa seisi ruangan kini turut hening.

Untungnya saat itu Lita memecah ketegangan dan yang lain mulai terlena pada candaan Lita. Namun kembali Theressa bertanya pada Aaron, sambil menepuk pahanya agar focus Aaron hanya pada Theressa. “Jadi ya atau tidak?”

Dan akhirnya Aaron berkata Ya. Kesepakatan selesai. Theressa sangat ingat Erica menatapnya dengan ekspresi jengkel, yang mana membuat Theressa semakin yakin bahwa Erica memang harus dimasukkan ke dalam black notes-nya. Sebetulnya dari awal ia tahu Aaron bukanlah orang yang sulit untuk diajak kerjasama, tapi Erica adalah orang yang selalu menentukan sikap berdasarkan suasana hatinya. Saat ini ia sedang dekat dengan Aaron, maka tak heran ia sangat kukuh untuk mempertahankan Aaron agar bekerja bersamanya. What a ridiculous reason! Theressa paling anti dengan orang-orang seperti Erica.

Sepulang dari rapat, Theressa terdiam di atas ranjangnya. Ia tidak menyesal dengan apa yang ia lakukan pada Erica, meskipun Erica mungkin akan membencinya. Namun kenyataan bahwa ia sempat kehilangan control diri membuatnya terganggu. Bukan sekali dua kali ia bersikap seperti ini. Ya, walaupun memang ia tidak berkata kotor ataupun menampar Erica, namun kenyataan bahwa ia membiarkan orang-orang melihat kemarahannya, sangat mengganggu untuk Theressa.

Lalu kemudian semakin larut membuat ia kembali berpikir, “Mengapa orang-orang sangat mudah untuk kesal padanya?”. Ia bahkan pernah berada pada situasi tidak mengucapkan apapun, hanya bertanya ‘Apa?’ untuk memastikan pendengarannya atas komentar bodoh seseorang, dan kemudian ia hanya diam, menatap orang itu sambil tersenyum kecil (karena kebodohannya sangat lucu menurut Theressa). Tapi orang itu malah semakin naik pitam dan semakin berceloteh seperti orang gila.

“si paling pintar”, “pemaksa”, “egois”, kata-kata itu sudah sering ia telan mentah-mentah. Membuatnya kemudian berpikir, apa memang benar ia orang seperti itu? Tapi kenapa? Ia tidak pernah memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu. Ia juga selalu menanyakan kesediaan orang itu sebelum memutuskan sesuatu. Dan ‘si paling pintar’… sangat tidak berdasar. ia benar-benar bingung dengan orang-orang yang seringkali kesal padanya. Tapi pasti mereka punya alasan untuk itu, mungkin memang dirinya yang salah dan buruk.

Dan muara dari pemikiran-pemikiran itu adalah… jika banyak orang yang menilainya seperti itu, kira-kira apakah ada orang yang dapat benar-benar menerimanya nanti? sejauh ini hanya satu temannya yang bertahan di sisinya. Dan Theressa berharap ia akan selalu berada dipihaknya.

Pikiran-pikiran itu selalu datang pada malam hari. Waktu-waktu di mana ia seringkali takut pada apa yang nantinya akan terjadi.

Blog at WordPress.com.

Up ↑